Sabtu, 05 September 2020

Rahasia Berkuasa Ibnu Khaldun

 Oleh Syaifuddin



Ibnu Khaldun adalah ilmuwan sosial yang pemikirannya sangat dikenal oleh dunia Barat. Tokoh yang mencapai ketenaran sebagai ilmuwan pada abad 14 ini mempunyai kontribusi besar pada perkembangan kajian ilmu ilmu sosial di Barat.  Dikenal sebagai tokoh yang serba bisa dan meletakkan dasar filsafat sejarah, perintis ilmu ekonomi hingga pengagas teori politik. Beliau lebih dikenal sebagai bapak sosiologi.

Abdul Rahman bin Khaldun, demikian nama lengkapnya, lahir di Tunis pada 1332. Magnum opusnya yang terdiri dari tujuh jilid adalah kitab al-Ibar yang jilid pertamanya berjudul al-Muqaddimah dan masyarakat Barat menyebutnya dengan Prolegomena. Beliau populer 3 abad kemudian di barat, karena di abad 13 peradaban Islam pada masa kemunduran. Karyanya sangat mengesaankan ilmuwan barat, terutama dalam  al-Muqaddimah  yang banyak memuat teori teori sosiologi, datang lebih awal melampaui zamannya. Padahal istilah sosiologi sendiri baru digagas oleh filsuf Prancis Auguste Comte pada abad 19.

Kekaguman Arnold J Toynbee adalah pada kelebihan al-Muqaddimah yang mengupas sejarah sebagai ilmu dengan ratusan prinsip prinsip, sehingga menjadi filsafat sejarah tidak sekedar narasi subyektif. Ibnu Khaldun membuat kemajuan penting dalam kajian sejarah, bahwa fenomena masyarakat dapat disaintifikasi. Philip K. Hitti memberikan apresiasi atas kontribusi Ibnu Khaldun dalam studi filsafat sejarah.

Pada Bab 3 al-Muqaddimah Ibnu khaldun mengekplorasi lima puluh tiga pasal terkait dengan sistem politik dan tata negara sebuah pemerintah yang berdaulat. Terdapat lima belas prinsip yang peneliti konstruksi sebagai kerangka teori dari grand teori politik dan tata negara Ibnu Khaldun.

Prinsip pertama : kerajaan dan dinasti hanya bisa ditegakkan atas bantuan dan solidaritas rakyat. Kemenangan hanya dapat diraih oleh sekelompok masyarakat yang solid dalam membangun sistem pemerintahan. Sultan didukung oleh rakyat yang bekerjasama berjuang untuk memperjuangkan kepentingan bersama. Kepala negara mempunyai banyak keistimewaan, sehingga usaha untuk mendapatkan privilege  diperebutkan banyak pihak. Negara dapat ditegakkan dan dipertahankan eksistensinya bila rakyat menyatu dan mendukung kepala negara.

Prinsip kedua : negara yang telah berdiri mapan tidak tergantung pada solidaritas sosial. Dinasti pada awalnya sangat tergantung pada soliditas rakyat dan solidaritas sosial yang tinggi. Seiring perjalanan waktu, sultan datang silih berganti. Konsolidasi kekuasaan semakin lama semakin mapan dan kokoh. Setelah dinasti mencapai keteguhan dan keteraturan maka solidaritas sosial sedikit memberikan pengaruh terhadap keberlangsungan pemerintahan.

Perubahan zaman kemudian membawa perubahan perilaku penguasa. Rakyat dan solidaritas sosial menjadi dianggap tidak penting, sehingga konsolidasi kekuasaan dapat mengabaikan kepentingan rakyat dan ketertiban umum. Kepatuhan rakyat kepada pemerintahan dan sistem tata negara yang berlangsung seperti kepatuhan rakyat kepada agama. Terlebih pada pemerintahan yang menggunakan agama sebagai legitimasi politik.

Ibnu Khaldun memberi gambaran berdasarkan riset yang dilakukan dengan mengambil dinasti Abbasiyah sebagai contoh. Pada masa khalifah al-Mu’tashim dan al-Watsiq, legitimasi Arab dalam pemerintahan khalifah menjadi lemah. Dua khalifah ini sangat tergantung kepada dukungan dan perlindungan dari bangsa Persia, Turki, Dailami dan Saljuk. Bangsa bangsa ini semakin mendominasi pemerintahan bani Abasiyah. Akhirnya bangsa Dailami mengambil alih Baghdad, menempatkan para khalifah itu sebagai pemerintahan fazal. Selanjutnya kekuasaan silih berganti, berpindah ke bangsa Saljuk dan Tatar, yang berujung pada keruntuhan kekhalifahan Abasiyah.

Prinsip ketiga : agama menjadi pilar penting kedaulatan pemerintahan. Kekuasaan hanya dapat didirikan di atas sebuah kemenangan. Kemenangan hanya dapat dicapai oleh kelompok masyarakat yang mempunyai modal sosial yang solid dan kuat. Agama menjadi unsur penting pembangun soliditas dan solidaritas sosial. Agama yang menyediakan kekuatan pemersatu untuk mencapai tujuan berdasarkan ikatan ikatan teologis. QS 8: 63 yang artinya : “Walau kamu membelanjakan semua kekayaan yang ada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan mereka. Ayat ini dikutip Ibnu Khaldun untuk memperkuat salah satu teorinya.

Prinsip keempat : dakwah Agama memperkuat kekuatan pemerintahan. Agama menjadi alat dan dorongan pemersatu masyarakat. Agama menjadi pereda ketegangan dan mengeliminir saling hasad antar anggota masyarakat, sehingga lebih berorientasi pada kebenaran. Jika warga negara sudah disatukan oleh nilai kebenaran, maka tidak ada satupun rintangan dan halangan yang tidak dapat ditaklukkan. Semuanya bisa dilakukan meskipun dari sisi kuantitas kalah tetapi dari segi kualitas menang.

Dalam perang Yarmuk dan Qadisiyah masyarakat muslim yang jumlahnya 30 ribu dapat mengalahkan 120 ribu bangsa Persia dan mengalahkan 400 ribu tentara Heraklius. Ibnu Khaldun memberikan argumentasi berdasarkan riwayat al-Waqidi bahwa dakwah agama memberikan spirit penting dalam menentukan kualitas sebuah bangsa untuk menaklukkan bangsa lain yang lemah motivasi agamanya.

Perubahan suatu masyarakat dari masyarakat yang kuat agamanya menjadi masyarakat yang lemah agamanya  juga membawa konsekuensi kecepatan untuk runtuhnya suatu peradaban masyarakat. Al-Muwahidun dan Zenatah adalah contoh yang sangat bagus untuk menunjukkan pengaruh dakwah agama pada ketahanan peradaban. Zenatah yang secara natural adalah suku nomaden yang kuat dapat dikalahkan oleh suku Musamidah, karena keyakinan mereka sebagai pengikut Imam Mahdi. Setelah suku Musamidah mulai melemah agamanya, suku Zenatah dapat mengembalikan kemenangan kepada pihak mereka. Agama menjadi elan vital kekuasaan.

Prinsip kelima : gerakan keagamaan tanpa solidaritas sosial tidak akan berhasil mencapai tujuan. Rakyat hanya dapat digerakkan oleh solidaritas sosial. Sebuah hadith shahih berbunyi : Allah tidak akan mengutus seorang nabipun kecuali ia berada dalam penjagaan kaumnya. 

Prinsip keenam : besar, luas dan lamanya kekuasaan suatu negara tergantung pada kekuatan penopangnya. Kekuasaan tanpa dukungan solidaritas yang kuat tidak akan bertahan lama. Karena itu ada dinasti yang berusia panjang dan banyak dinasti yang usianya puluhan sampai ratusan tahun saja. Negara yang memiliki lebih banyak suku bangsa dan mempunyai solidaritas yang kuat mempunyai jaminan keberlangsungan dalam jangka panjang dan menjangkau kekuasaan yang lebih luas.

Ibnu Khaldun mengambil contoh kesuksesan pemerintahan al-Khulafa’ al-Rasyidin dalam memperluas dan mempertahankan kekuasaan Islam. Kekuasaan al-Muwahidun yang sukses menganeksasi Iriqiah, Maghribi, Syria, Mesir serta Hijaz karena kemampuan mereka menjalankan prinsip politik ini. 

Prinsip ketujuh : beragamnya suku dan golongan mempengaruhi daya tahan suatu kekuasaan. Prinsip ini dilandaskan pada pengalaman suku barbar di Maroko, juga penaklukan bangsa Eropa pada masa itu terhadap Maroko. Suku suku yang banyak dan tidak mempunyai kohesifitas, bukan menjadi modal sosial tetapi menjadi beban politik. Saling berebut kekuasaan lumrah terjadi dalam masyarakat yang majemuk tanpa ikatan sosial yang rekat.

Irak dan Siria dengan mudah diambil alih dan dikuasai oleh daulah Islamiyah, karena masyarakat di dua negara tersebut terpecah belah pada saat menjadi negara fazal Byzantium. Rakyat yang terpecah belah tidak dapat dipertahankan oleh imperium Byzantium dan dengan mudah memilih berada dalam kekuasaan daulah Islamiyah. 

Prinsip kedelapan : Kekuasaan cenderung terkonsentrasi. Kemenangan perebutan kekuasaan umumnya didominasi oleh klan, suku atau sindikat kekuasaan tertentu yang dalam contoh masa lalu adalah keluarga dari suku yang berpengaruh. Pada beberapa dinasti Abasiyah dan Umawiyah, legitimasi suku Arab Quraisy sangat menentukan keabsahan kedaulatan dinasti. 

Kekuasaan yang terkonsolidasi kemudian membuat kekuasaan terkumpul pada satu keluarga dan pada satu sosok. Secara natural prinsip ini menyimpulkan bahwa pada ahirnya kekuasaan akan terpusat pada satu orang atau oligarkhi, kekuasaan pada segelintir orang atau keluarga. Dalam prinsip ini diyakini bahwa secara alamiah kekuasaan cenderung terpusat atau terkonsentrasi. 

Prinsip kesembilan : Kekuasaan cenderung pada kemewahan. Kesimpulan ini didasarkan pada studi yang panjang perilaku beberapa dinasti yang diamati dari masa pemerintahan para sahabat Nabi sampai dinasti di masa Ibnu Khaldun. Postulat ini diambil dari realitas yang terjadi pada sebagian besar atau keseluruhan dinasti dinasti Islam. 

Seiring dengan kemajuan yang dicapai oleh sebuah imperium pada siklus pertengahan, para penguasa yang telah berhasil mencapai puncak kejayaan berada pada titik jenuh. Tantangan politik sosial dan ekonomi nyaris semua dapat diselesaikan. Akhirnya kekuasaan terjebak dalam pragmatisme. Hedonisme merajalela di semua kalangan. Yang sekunder menjadi primer. Realitas sosial yang inheren dengan tumbuhnya kekuasaan. Kemewahan seakan menjadi pelarian dari kejenuhan. 

Beberapa prinsip politik dan tata negara Ibnu Khaldun ini meskipun dirumuskan delapan abad atau 800 tahun yang lalu, tapi masih sangat relevan dengan dinamika politik dan ketatanegaraan abad ini. Walaupun prinsip prinsip itu disarikan secara induktif dari masyarakat Islam si wilayah daulah Islamiyah yang terbentang dari Timur Tengah sampai Eropa, tetapi tetap relevan dengan situasi Indonesia.


Sangaji Ternate 

5 September 2020

#118

2 komentar:

  1. Artikel Sosial politik yang keren dari Bapak Sosiologi Islam.

    BalasHapus
  2. Siap Pa Dr. Hamzah, sedang cari cari di bagian mana pemikiran ekonominya Syaikh Ibnu Khaldun.๐Ÿ‘๐Ÿ‘Œ

    BalasHapus