Jumat, 11 September 2020

Penerapan Hukum Islam di Kesultanan Tidore

 

Oleh Syaifuddin


Ternate dan Tidore dalam buku sejarah Indonesia cukup populer, bahkan sudah diajarkan sejak sekolah dasar di kelas 5 pada pertengahan masa orde baru. Secara geografis Ternate dan Tidore hanya dipisahkan oleh selat kecil. Saking dekatnya sehingga mungkin tidak perlu nama, karena banyaknya pulau di kepulauan Maluku Utara mungkin perlu ribuan nama. Masalah lainnya jarak antar pulau beragam banyak yang dekat tidak sedikit yang jauh, maka banyak sekali pertemuan antar selat. Mungkin penamaan selat malah akan memperumit pengenalan lokasi.

Hubungan Ternate dan Tidore juga unik, kadang panas kadang pula dingin. Pernah bertikai, tetapi juga lebih sering damai. Saat tertentu berkompetisi, disaat yang lain bekerjasama. Hubungan budaya dan adat istiadatnya juga unik. Beberapa adat dan bahasa sama, tetapi juga ada yang kontradiktif. Hubungan dua kesultanan ini juga unik tapi asyik. Mungkin seperti tetangga dekat, sering bersinggungan, tetapi kalau jauh dirindukan. Dalam hal hal tertentu dua kesultanan ini menggunakan strategi dan cara memajukan wilayahnya dengan cara yang berbeda. Tetapi perbedaan itu menjadi saling mengisi saling membutuhkan.

Kali ini saya akan mendedah sekelumit sebuah penelitian hukum Islam di Tidore yang dilakukan dosen dosen IAIN Ternate. Di Ternate cukup banyak tinggal etnis Tidore yang secara ekonomi juga cukup mapan dan berperan. Pengetahuan saya tentang Tidore justru saya dapatkan dari kolega saya yang berasal dari Tidore tetapi bekerja dan tinggal di Ternate. Tapi karena penyeberangan Ternate dan Tidore paling lancar, maka tidak sedikit pekerja yang pulang pergi setiap hari, miriplah seperti pengguna komuterline jabodetabek.

Konon karya karya Ibnu Taymiyah ditulis oleh para murid dan penerusnya yang disarikan dalam ceramah ceramah atau pengajian yang beliau berikan. Lebih dari 11 kitab yang dinisbahkan ke syaikhul Islam ini, yang paling terkenal adalah Majmu’ al Fatawa. Saya punya sebagian besar karyanya dalam bentuk digital, tapi belum pernah menyelaminya. Demikian juga apa yang akan saya tulis ini secara singkat adalah penerapan hukum Islam di Kesultanan Tidore. Bagaimana bisa dilakukan, padahal Tidore adalah bagian dari negara kesatuan Republik Indonesia, bukan negara federal atau kesultanan yang merdeka tetapi menjadi  fazal dari RI.

Kesultanan Tidore adalah salah satu dari empat kesultanan Maluku Kieraha dengan falsafah “adat matoto agama, agama matoto kitabullah, kitabullah matoto jou ta’ala” (Adat bersendi agama, agama bersendi kitabullah, kitabullah adalah titah firman ketentuan Allah Swt.)

Islam menjadi agama masyarakat Tidore berlangsung secara gradual. Konversi dari keyakinan sebelumnya kepada agama Islam terjadi secara berangsur angsur, damai sukarela dan dengan kesadaran. Penerapan hukum Islam di Kesultanan Tidore menurut pendapat penelitian ini selaras dengan “Receptio A Contario Theori” hukum adat melakukan penyesuaian dengan hukum Islam. Hukum adat yang bertentangan dengan hukum Islam akan mengalami eliminasi. Dibuktikan dengan dirumuskan falsafah seperti tersebut di atas.

Penerapan hukum Islam pada Kesultanan berlangsung setelah mapannya aspek teologi/aqidah dan tasawuf pada kehidupan beragama. Setelah Islam menjadi pola hidup, maka pada zama Sultan Jamaluddin atau Kolano Caliati, hukum Islam baru mulai diterapkan. Model penerapan hukum Islam seperti ini hampir menjadi tipikal Islamisasi penduduk di bebagai tempat wilayah nusantara.

Sebagai bukti bahwa hukum Islam menjadi struktur resmi pemerintahan terdapatnya Qadhi (Hakim). Kekuasaan peradilan ini juga pada perkembangannya diberikan kepada Jojou (Perdana Menteri), akibat intervensi pemerintah Belanda dengan memberikan kewenangan peradilan kepada dua pihak, yaitu pengadilan Pehak Lebe (Agama) dan Pengadilan Swapraja (Adat).

Penerapan hukum Islam ini diperlakukan di seluruh wilayah kekuasaan kesultanan Tidore yang meliputi pulau Tidore dan pulau pulau besar seperti Halmahera, Papua, Seram, Buru dan Ambon. Meskipun demikian Kesultanan Tidore memberikan kesempatan seluas-luasnya menjalankan keyakinan lain seperti Kristen, Anismisme, Dinamisme dan kepercayaan lain yang masih ada di masyarakat.

Hal ini dibuktikan dengan adanya dua kepala kesatuan adat dan suku Fomanyira Tobaru (suku non muslim di Halmahera) dan Fomanyira Yaba (Suku non Islam di Ambon), dan raja raja di Papua. Meskipun hukum Islam ditegakkan di seluruh wilayah kekuasaannya, ketentuan itu hanya berlaku bagi masyarakat Muslim, sedangkan kepercayaan lain diserahkan kepada masing masing.

Penerapan hukum Islam di Tidore sebelum kehadiran kekuasaan Belanda, menerapkan semua aspek dari mulai ibadah sampai dengan mu’amalah. Dari perkara perdata sampai dengan pidana. Pelaksanaan hukum shalat, puasa, zakat dan haji ditegakkan, tetapi juga dalam persoalan hukum keluarga (akhwal al-syakhsiyah). Bahkan hukum qishash dan hudud (hudud zina dan hudud mencuri) juga diterapkan.

Sebagai sistem hukum yang berlaku secara sempurna maka penerapan hukum Islam di Tidore memenuhi syarat karena  kelengkapan hukum tersedia. Terdapat tiga elemen kunci sistem hukum yaitu struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum.

Buktinya di kesultanan Tidore pada masa lalu menerapkan hukum Islam yang ditopang oleh peradilan (struktur hukum), Undang Undang Kie Sie Kolano (Substansi hukum) dan falsafah syari’ah yang menjadi praktik masyarakat (Budaya hukum).

Inilah yang membedakan corak keberagamaan masyarakat kesultanan Tidore dengan Ternate dalam penerapan hukum Islam. Di Ternate tentu punya kelebihan di aspek lain, karena itu lebih mencerminkan strategi kesultanan dalam membangun masyarakatnya. 

11 September 2020

#125


Tidak ada komentar:

Posting Komentar