Selasa, 29 September 2020

Menulis Dari Kursi Roda

 

Oleh Syaifuddin



Menulis adalah cara bersukur terbaik. Tanpa sedikitpun kekurangan dan keterbatasan, mengapa kita terhalang untuk menulis. Meskipun hanya 300 kata perhari. Di mana sulitnya? Perlu waktu paling lama 30 menit untuk menulis, kalaupun tidak ada ide, tidak ada bahan untuk tulis, hanya perlu waktu kurang dari 30 menit tambahan untuk membaca.


Bandingkan dengan apa yang dilakukan oleh Wesley Wee, pengidap cerebral palsy, 38 tahun. Penyakit yang membuat aktifitasnya sangat terbatas. Hidupnya tergolek di kursi roda, untuk makan dan ganti pakaian musti mendapat pertolongan. Untuk menulis ia hanya bisa menggunakan satu ibu jari kaki. Hanya satu jempol, dan itupun jempol kaki.


Untuk menulis 300 kata, mungkin ia perlu satu hari, bandingkan dengan apa yang dapat kita bisa perbuat dalam menulis. Perlu tekad, dan mental kuat untuk menyelesaikan sebuah buku. Wesley punya tekat bagus dan tau caranya bersyukur. Waktu lima tahun diperlukan untuk menuntaskan buku “Finding Hapinnes Against the Odd”, dipintal hari demi hari, disusun dengan tekun dengan ketukan jempol kaki.


Dengan keterbatasan Wesley mau berbagi. Melalui buku ia berbagi pengalaman, berbagi spirit. Tidak ada yang mustahil, jika bersungguh sungguh mengusahakan. Man jadda wa jada, bunyi makhfudhat anak anak pesantren, siapa yang bersungguh sungguh akan berhasil. Wesley memberi insipirasi kepada halayak, jangan menyerah dengan keterbatasan, apalagi hanya dengan rasa malas atau rasa enggan. “Jangan menyerah, sebab kalau cepat menyerah maka semuanya selesai”, katanya.


Memikirkannnya saja tidak mudah, apalagi menjalankannya. Maka kita yang diberi kelebihan fisik yang tidak bermasalah, kesempatan yang selalu ada, fasilitas yang tersedia, tetapi tidak bisa berkarya lebih baik dari Wesley. Kesempatan dan peluang paling berharga dalam hidup kita telah terbuang percuma. Menulis sebagai ungkapan syukur, sebagai tanda terima kasih, berbahagia dan mau berbagi karena Dia telah memberi semua yang tidak kita minta. Jika kita bersyukur, Tuhan tambahkan anugerah.


Wesley dengan satu jempol kaki bisa menulis setiap hari, kita yang punya sepuluh jari tangan ditambah 2 jempol kaki yang masih lengkap, apakah masih ada alasan lain untuk tidak menulis.


Mari kita bangun kesadaran diri untuk menulis, sebagai ihtiar belajar sepanjang hayat. Dengan menulis, berarti kita terus belajar. Dengan selalu menulis setiap hari kita terus membaca, baik bacaan yang tersurat maupun yang tersirat. Dengan terus menulis pikiran kita selalu hidup, memori otak kita berkembang. Dengan terus menulis pengetahuan kita semakin bertambah, logika kita semakin bagus. 


Kita perlu belajar juga dari anak muda yang luar biasa, Habibie Afsyah. Dari kursi roda Habibie terus berkarya. Baca apa yang ditulis “Bagi orang lain adalah kursi roda biasa. Tapi tidak, bagiku ini adalah panggung. Panggung yang Allah sediakan untuk hidupku. Di atas panggung inilah pula aku bekerja, berkarya dan berbagi manfaat untuk sesama. 



Habibie dilahirkan dengan keterbatasan, pada usia empat tahun dia baru menyadari tidak akan bisa berjalan selamanya. Mamanya yang memompakan semangat, menyediakan kakinya untuk Habibie kecil.


Habibie sadar betul dengan keterbatasan, karenanya tantangang untuk memberikan yang terbaik, menjadi etos. Ia produktif dalam menulis. Beberapa karya buku telah dilahirkannya. Ia juga dikenal hebat dalam marketing online. “Tanpa karya mungkin saya hanya dikenal sebagai Habibie Afsyah yang lumpuh dan sebagainya. Ia menyalurkan bakat menulisnya dalam dunia internet marketing. Pengalamannya yang panjang dalam internet marketing, mengantarkan pada profesinya sekarang sebagai web concultant.


Habibie penyandang difabel. Kaki lumpuh, tangan kiri tidak berfungsi juga tangan kanan yang nyaris tidak berfungsi, kecuali dua jarinya saja yaitu jempol dan ibu jari. Dengan dua jarinya inilah ia menulis dan menghasilkan banyak karya. Diantaranya  menjual dengan website, menjual dengan marketplace, menjual dengan media sosial dan lainnya.


Dua jari, dengan telunjuk dan jempolnya, Habibie tidak berputus asa. Dia mengasah terus kemampuan menulis. Dia berpikir positif, memberikan sumbangsih bagi kehidupan. Melalui tulisan dia melayani apa yang diperlukan oleh konsumen. Dia menggali keterampilan marketing. Atas dedikasi dan ketekunannya, dia mendapatkan penghargaan nasional Best of The Best Wirausaha dan penghargaan Danamon Awards.


Habibie yang kini berusia 32 tahun terlahir sempurna. Sebuah penyakit bawaan menggerogoti fungsi motorik, sehingga di usia 4 tahun, sudah harus tergolek di kursi roda. Mamanya Hj. Endang yang menjadi kakinya, di atas kursi roda Habibie berkarya dan menciptakan panggungnya.


Dengan menulis daya nalar, daya kritis akan terus berkembang. Dengan terus menulis, kita memberi inspirasi, memberi manfaat, memberi pengetahuan, menyalakan suluh, menerangi. Dengan menulis kesehatan kita terjaga, pikiran lebih sehat, obat anti pikun. Dengan selalu menulis kita senantiasa mendatangkan kebahagiaan dan optimisme, serta membagikan kebahgiaan dan optimisme bagi orang lain.


Banyak orang yang dilahirkan dengan keterbatasan seperti Wesley dan Habibie, tapi bersedia berbagi tanpa batas. Shane Burcaw, seorang blogger asal Amerika. Ia menderita spinal muscular athropy, gangguan genetik yang membuat ototnya tidak berkembang. Hidupnya dihabiskan di atas kursi roda. Meskipun geraknya terbatas, Shane produktif berkarya. Melalui blog ia berbagi tulisan. Ia memandang hidupnya dengan positif. 


Ia bagi sikap hidupnya dalam karya tulis. Ada tiga buku yang dihasilkan oleh Shane. Laughing at Nightmare (2014), Not So Different : What You Want to Ask About Having a Disability (2017) dan Strangers Assume My Girlfriend is My Nurse (2019). Ayo kita bandingkan dengan apa yang sudah kita hasilkan dalam hidup ini. Berapa buku yang kita terbitkan, berapa lembar halaman tulisan yang sudah kita hasilkan? Pemikiran dan pengalaman yang berguna bagi orang lain.


Bila mereka bisa menginspirasi di tengah kesulitan. Apa yang sudah kita berikan sebagai rasa syukur atas kesempurnaan yang Tuhan anugerahkan. Kita jadikan cermin, menjadi pelajaran, menjadi daya dorong untuk bisa berbuat lebih. Menulis menjadi manivestasi berterimakasih, bentuk refleksi aktualisasi diri.



26 September 2020

#144


Tidak ada komentar:

Posting Komentar