Sabtu, 30 Mei 2020

MONDOK


Di laman media sosial bertabur aneka cerita. Kisah para orang tua santri mengirim, mudhif dan menjemput anak ke pondok pesantren. Ada banyak kesan, ada haru baru juga lucu, kadang menyentuh, tak sedikit yang gembira dan bahagia.  Kisah yang tidak kita dapatkan pada zaman sebelum era madia sosial.

Mengirim anak ke pondok  trend yg keren. Mondok itu tujuannya bukan supaya bisa bahasa Arab, bukan supaya pergaulannya internasional, bukan supaya masuk UIN, IAIN, , bukan supaya bisa kuliah di Mesir, Madinah, Turki, Rusia, Amerika, UGM, UI, bukan supaya jadi tentara, bukan supaya hafal al -Qur'an, bukan supaya bisa baca kitab kuning, dan yang bukan bukan lainnya. Itu semua hanya bonus. Yang paling penting memberikan fondasi agama yang kuat, yang lurus. Sehingga taqwa, sholeh, ikhsan, toleran, bermanfaat bagi sesama.

Kalangan menengah muslim, setidaknya teman teman saya di media sosial, menjadikan pondok pesantren sebagai tujuan mengirim putra putrinya. Ada beragam alasan, tapi  terdapat kesamaan tujuan yaitu  memberikan fondasi agama yang kuat untuk putra putrinya supaya siap menyongsong perubahan zaman.

Pondok pesantren telah mengalami kemajuan pesat dalam hal fasilitas dan manajemen kelembagaan. Lembaga pendidikan dapat disebut sebagai pondok pesantren apabila terdapat kyai, santri, masjid dan pondok atau asrama. Para ahli membagi tipe pondok pesantren dalam 4 model yaitu, salafi, khalafi, kilat dan terintegrasi.

Pesantren memiliki banya keunikan dan kelebihan sebagai lembaga pendidikan. Pertama, coraknya yang tradisional sehingga interaksi santri dan kyai lebih intensif, relasi dua arah tercipta secara alamiah. Kedua, proses pendidikan dilakukan secara demokratis karena santri dan kyai bekerjasama memecahkan problem non kurikuler bersama sama. Ketiga, sistem pondok pesantren mengandalkan kerjasama, kemandirian, kesederhanaan, idealisme, persaudaraan dan keberanian hidup.

Tantangan mengirim anak ke pondok tidak ringan. Baik dari sisi anak maupun orang tua. Anak dituntut mampu mandiri, membangun kecerdasan sosial, menata waktu, mengikuti aktivitas pendidikan mulai dini hari sampai dengan larut malam. Orang tua kerap tidak tega menyaksikan buah hati, yang harus berjibaku mengurus dirinya sendiri.  Tak jarang derai air mata saat melepas dan berjumpa. Sebagian besar pesantren menutup komunikasi dengan dunia luar melalui gawai. Seringkali kerinduan orang tua jauh lebih besar dari yang dirasakan anak anaknya. Mendengar suaranya serasa sangat bahagia.

Orang tua zaman dulu mungkin lebih kuat, lebih tabah. Melepas anaknya di pesantren sampai puluhan tahun. Tidak diperbolehkan pulang sampai diijinkan kyai pulang. Abah saya yang mondok di pesantren Langitan di tahun 1940 sampai kurus dan tersuruk di makam makam Auliya'. Kyai sudah mengijinkan pulang, tapi santri merasa belum cukup berkhidmat di Pondok.

Ahirnya kakek datang dari Gresik, naik sepeda angin sejauh 80 km zaman belanda masih berkuasa, jalan Dendles masih lengang. Tidak memanggilnya pulang, tapi memberi bekal modal dagang. Lanjutkan pilihan hidupnya, kakek  sudah merelakan melepas dengan ikhlas segala pilihan khidmahnya. Selanjutnya Abah mengajar kitab fiqh dan tasawuf dari kampung ke kampung, masjid ke masjid, sepanjang sisa hidupnya. Tidak sempat mendirikan pesantren, tapi banyak yang mengaku pernah menjadi santri dan muridnya.

Anak saya juga anak pesantren. Sudah menamatkan kuliyatul mualimin 6 tahun, sekarang berkhidmat di pesantren, rencananya 1 tahun. Walaupun model pesantrennya berbeda dengan kakeknya, tapi terasa langkah langkahnya seperti kakeknya. Apakah saya dapat ikhlas seperti kakek buyutnya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar