Jumat, 29 Mei 2020

ANOMALI EKONOMI SYARIAH DI TENGAH WABAH


Covid 19 akan melemahkan ekonomi dunia, tapi tidak berlaku untuk ekonomi syariah. Masalah ekonomi dunia terlihat dari pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat. Seluruhnya, jika tidak disebut sebagian besar negara mengalami kontraksi ekonomi. Tanda tanda bertahan atau malah menguatnya ekonomi syariah dapat dilihat dari tumbuhnya 3 sektor ekonomi Islam yaitu halal food, pembiayaan syariah dan  ziswaf (zakat, infaq, sedekah dan wakaf)
------------
Kontraksi ekonomi sudah berubah menjadi resesi ekonomi, dan yang pertama kali digulung oleh badai ekonomi ini pasar tenaga kerja. Gelombang PHK di mana mana. Amerika mengalami PHK 33 juta, China 80 juta dan Eropa 60 juta, Indonesia 2 juta tenaga kerja dirumahkan (data terakhir HIPMI sudah 6,5 juta angkatan kerja). Amerika mengajukan utang baru 46 ribu triliun Rupiah, Eropa menggalang dana 2 ribu triliun Rupiah. Indonesia juga kebingungan mencari dana 600 triliun Rupiah apakah mau cetak uang atau terbitkan obligasi (surat utang). Menteri keuangan dan DPR berdebat keras soal pilihan ini. Bagai laju pesawat, posisinya masih menukik turun, karena semua ilmuwan masih menebak nebak  covid 19 sampai kapan. Turbulensi ini semakin tidak jelas dengan langkah pemerintah di banyak negara yang membuat kebijakan blunder dan plin plan.
------------
Ekonomi Islam di Indonesia berkembang melalui jalur praktisi keuangan, kurang bersinggungan dengan jalur ekonomi politik, lemah dari aspek historis struktural. Islam sosiologis kurang mendapatkan tempat dalam kajian ekonomi Islam Indonesia. Kalah mentereng dengan pendekatan moneter dan keuangan. Inilah yang menjelaskan fenomena bahwa ekonomi Islam ya bank syariah. Lihatlah birokrat atau pejabat politik yang berkecimpung di ekonomi syariah, Bambang Brojonegoro, Bambang Sudibyo, Sri Mulyani Indrawati, Anggito Abimanyu, beberapa nama besar dari Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan.  Sementara pemikir ekonomi Islam dari jalur ekonomi politik dan struktural Historis, sebutlah beberapa nama Dawam Raharjo, Abdurrahman Wahid, Suroso Imam Djazuli kurang mendapat sambutan hangat dalam pemikiran ekonomi Islam di Indonesia.

Pada masa pandemi ini praktik praktik ekonomi syariah yang disuarakan dan diperjuangkan kalangan struktural historis ini yang berkembang tanpa kerangka, tanpa desain, tanpa komando. Solidaritas ekonomi yang secara konvensional disebut sebagai solidaritas sosial menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia ditengah gelombang PHK senyap.  Industri konsumsi halal (makanan, minuman, obat, produk halal lainnya) juga tumbuh pesat seiring dengan kesadaran konsumsi sehat untuk melindungi diri dari virus, untuk kehidupan yang lebih sehat.
------------
Untuk melihat gairah ekonomi syariah di Indonesia, silahkan lihat data data yang disajikan oleh Nelsen dalam survainya di bulan Mei, cari di google banyak sekali yang menyajikan riset bulanannya. Yang penting dicatat kaitannya dengan anomali ekonomi syariah di tengah wabah adalah berkembangnya sektor financial sebesar 54%. Hanya saja karena market share bank syariah di Indonesia hanya sekitar 5% , sehingga raihan positif bank syariah/keuangan syariah tidak cukup memitigasi kemungkinan krisis moneter. Kalau market share keuangan syariah (ekonomi Islam moneteris) 50% dan bergeraknya ekonomi sektor non moneter (kulturis struktural), maka kemungkinan besar tidak terjadi krisis moneter, tidak berlanjut ke krisis ekonomi.

Syaifuddin
Senin, 18 Mei 2020

4 komentar: