Sebagaimana pusat keramaian di Surabaya lainnya, wilayah Pasar Turi sudah menjadi pusat perdagangan sejak jaman Belanda. Stasiun terbesar yang menghubungkan Surabaya dengan Jakarta lewat jalur utara Jawa. Kakek saya dulu mengirim beberapa gerbong telur bebek menuju Jakarta. Sedemikian legendarisnya jalur kereta api ini, Elvi Sukaesi mengabadikannya dalam sebuah lagu yang penggalan syairnya "juk ijuk ijak ijuk kereta berangkat".
Jalan semarang di tahun 90 an banyak terdapat toko buku bekas. Harganya sangat murah, terjangkau untuk ukuran siswa dan mahasiswa. Saya pernah dapat majalah intisari dengan harga lima ratus rupiah. Sampai pernah beli 25 eksemplar, lumayan buat bacaan di kereta api. Buku buku pelajaran dan teksbook kuliah bisa didapat dengan harga 15% dibandingkan harga buku baru. Era berjayanya eleksmedia komputindo, saya kerap mendapatkan buku buku komputer yang masih bagus. Worldstar, lotus 123 dan dBase foxpro adalah program komputer awal yang bukunya saya dapatkan di pasar loak Jalan Semarang Surabaya.
Masa lulus SD, saya pernah termangu mengamati anak anak SMP dengan berbagai moda kendaraan yang sedang melintas di depan Stasiun Pasar Turi. Batinku, enaknya anak anak kota ini berangkat sekolah. Pakaiannya rapi, berdasi, cantik dan tampan. Berangkat berombongan, ceria, intelek, dengan masa depan cerah. Saya yang lulus SD tahun 1987 dengan Nilai Ebta Murni, 40 sangat berharap bisa masuk SMP Negeri. Nilaiku tertinggi di kelas dan nomor 2 se kecamatan. Nilai rata ratanya 8 dengan 5 mata pelajaran dalam ujian negara. Nyaris semua SMPN bisa menerima saya baik di kota atau di desa.
Tapi bagi keluarga saya, masuk SMPN merupakan kemewahan yang harus segera dikubur dalam dalam. Harga kualitas pendidikan yang tidak terjangkau oleh keuangan kami. Akhirnya saya masuk Madrasah Tsanawiyah di desa, gratis, tentu saja sekolah ala desa, gurunya kebanyakan hanya lulusan SMA atau Aliyah.
Setiap saya lewat jalan Semarang kenangan tentang sekolah itu selalu melintas. Stasiun Pasar Turi, banyak menyimpan kenangan pahit dan indah. Bayang demi bayang melintas dengan indah sekarang, setiap saya menapaki puzzel puzzel kenangan. Bangunan utama nampak tua, anggun dan antik, meski sudut sudut kecilnya mengalami modernisasi menyesuaikan mutu PT. KAI. Manajemen angkutan kereta api mengalami perbaikan beberapa lompatan, sejak dipegang Ignasius Jonan, yang arek Suroboyo.
Jika mengingat buruknya tata kelola kereta api masa itu, rasanya tak mungkin bisa berubah. Budaya kita masih 11-12 dengan India dan Bangladesh. Ternyata amat bisa kita berubah, jika ada upaya. Masih terbayang jelas tiket kereta api dari kartun tebal, ukuran 3x8 cm warna hijau. Di sisi mukanya terdapat tanggal terbit. Tanggal yg sering diedit manual supaya dapat dipakai lagi. Supaya tidak digunakan ulang penumpang nakal, polsuska dan kondektur kerap mengejar penumpang untuk melubangi tiket, sampai ke toilet dan tempat persembunyian lainnya.
Harga tiket memang sangat murah, tapi berakibat penumpang jadi murahan, dengan buruknya layanan. Kejar kejaran dengan petugas kerap terjadi untuk naik gratisan àtau mendapatkan harga kortingan, cincai dengan petugas. Penumpang buruk tingkah, petugas salah polah, tidak tahu siapa yang lebih buruk, sistem buruk yang terus memproduksi sikap salah pada semua.
Dengan harga 75 rupiah untuk jarak tempuh 50 km, penumpang berebut dan berjejal masuk ke gerbong kereta. Mimpi kalau penumpang dapat tempat duduk, siapa cepat dia dapat, siapa kuat dia nikmat. Bisa berdiri dan dapat menghirup udara segar, sudah merupakan anugerah tiada tara. Jangan bertanya tentang aroma. Semua jenis bau bauan dapat masuk ke kereta, karena gelandangan dan orang gila pun bisa naik kereta dengan leluasa. Pedagang dapat untung paling melimpah, dia dapat menguasai jumlah besar kavling wilayah tanpa biaya tambah. Jumlahnya bisa sampai 3 kubik. Barang barang inilah yang sering merenggut tempat penumpang. Apa boleh buat, nikmati dan jalani, tidak ada guna mengkritik dan mengeluh masa itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar