Senin, 04 Mei 2020

Sagu Makanan Pokok



Nasi disebut sego dalam bahasa Jawa, sangu dalam bahasa Sunda. Pelafalan kata tersebut lebih dekat ke bunyi Sagu. 

Sebua Prasasti bernama Talang Tuwo yang dibuat Raja Sriwijaya pada 684 Masehi, tidak menyebutkan tanaman padi atau beras yang ditanam pada sebuah lanskap yang disebut Taman Sri Ksetra.
Terasa janggal apabila tanaman yang demikian penting tidak disebut. Juga pada relief di Candi Borobudur, tentang palma kehidupan seperti kelapa, lontar, aren dan sagu. Sekali lagi tidak pernah disebutkan kata beras atau padi dalam koleksi tumbuhan penting kehidupan masyarakat nusantara.
Hal ihwal sagu, mengingatkan saya pada sebuah perjalan pengabdian masyarakat, ke tujuan yang penuh ketidakpastian makanan. Tujuan ahir desa Tawa kecamatan Gane Barat Selatan. Total perjalanan darat dan air jika dilakukan tanpa menginap, 12 jam. Kalau bawa nasi sudah keburu basi, mau cari nasi dimana dibeli, jika bertahan dengan makanan ringan berapa lama energi terkendali.
Orang orang tua punya kearifan lokal, local genius, berupa warisan kuliner. Makanan berbentuk sagu merah atau sagu tumang dan ikan fufu yang digoreng kering. Makanan pokok dan lauk yang mampu bertahan sampai satu bulan. Cocok untuk  perjalan yang penuh ketidakpastian. Dalam potongan kecil yang dilumat pelan atau dicelup dengan air atau teh panas.
Di Palembang sebagai pusat kerajaan Sriwijaya yang menguasai nusantara 1500 tahun lampau juga merekam peran fungsi sagu yang bertahan sampai sekarang dalam kuliner empek empek.
Sebagaimana dituturkan oleh Taufik wijaya tentang sagu dalam tradisi kuliner masyarakat Sriwijaya . Jika tepung sagu merupakan makanan pokok masyarakat era itu, adakah kuliner yang dapat dilihat dan dirasakan pada saat ini, khususnya di masyarakat Palembang, kota yang diperkirakan sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Sriwijaya selama lima abad?
Taufik menduga, makanan itu adalah kelesan, yakni makanan yang terbuat dari tepung sagu yang dicampur daging ikan yang diadon setelah diberi sedikit garam dan air. Kelesan ini kemudian dibentuk seperti bambu ukuran sedang dengan panjang sejengkal, lalu direbus hingga matang. Kelesan ini disebut lenjeran.
Lenjeran bukan hanya dikonsumsi masyarakat saat di rumah, tapi juga dikonsumsi saat melakukan perjalanan. Sebab sifat lenjeran yang tahan lama seperti halnya ikan atau daging asap. Selama perjalanan, lenjeran dibungkus dengan daun pisang atau daun jati.
Lenjeran yang mengeras dapat direbus kembali. Jika rasanya sudah tidak enak dimakan, lenjeran ini diiris tipis-tipis, dijemur, kemudian dipanggang menjadi kerupuk.
Dalam tradisi masyarakat Maluku Utara, sagu merah dapat menjadi obat diabetes yang efektif. Sagu adalah makanan pokok yang  sesuai dengan genetik penduduk kepulauan (nusantara). Sebenarnya  beras adalah makanan yang tidak sesuai dengan genetik masyarakat nusantara yang bercirikan kepulauan, beras dibudidayakan di daratan, di benua seperti  Tiongkok misalnya, bercirikan agraris. Padi membutuhkan pemeliharaan yang menetap.
Mengapa kita temukan banyak penyakit diabetes pada masyarakat kita sekarang ini? Kalau menengok pengalaman penduduk Jawa,  diabetes adalah penyakit orang orang kaya, penyakit itu disebut kencing manis.
Hanya orang kaya yang tiap hari bisa makan nasi putih, sementara yang lain mampunya nasi campur, nasi campur ubi, nasi campur tiwul nasi campur jagung, kadang jagung putih campur jagung merah.  Semakin sulit hidupnya, semakin berkurang campuran nasinya, semakin terbebas dari risiko diabetes.
Sepulang dari perjalanan pengabdian masyarakat, kami berjumpa dengan seorang bapak dari Gita. Istrinya orang Tegal, lebih muda terpaut 20 tahunan usia mereka.
Dalam perjalanan veri yang lebih lama dari biasanya. Keduanya bercerita tentang makanan, lebih tepatnya keluhan tentang perbedaan budaya makan orang Jawa dengan orang Makian. Bapak ini belum merasa makan sebelum makan papeda dan ikan laut. Kalau bertemu nasi, ayam berapapun banyaknya belum merasa makan sebelum makan ikan dan papeda.
Papeda adalah makanan terbuat dari pati sagu, kadang kadang tepung ubi yang dicairkan dengan air panas sehingga berbentuk gel menyerupai bubur.
Bagi yang belum pernah bertemu dengan papeda, mengatakan mirip lem kanji. Sagu merah berbentuk roti tawar, sebenarnya makanan pokok serbaguna dan tahan lama. inilah salah satu warisa kearifan lokal (local genius), yang perlu dilestarikan dan diinovasikan agar tampilan dan citarasanya menyesuaikan dg selera pasar.
Sejak kapan sagu menjadi makanan pokok masyarakat Maluku Utara dan sekitarnya? Belum ada jawaban yang memuaskan. Sedang dilakukan   penelitian antropologi sagu. Semoga temuannya  dapat mengembalikan kepada jati diri konsumsi bangsa ini, sagu.
Jika di Maluku Utara warisan kearifan lokal makanan berbentuk roti tawar sagu merah, maka masyarakat Sumatera Selatan punya pempek. Sebenarnya pempek adalah kelesan.
Pedagang cina yang mempopulerkan pempek, berasal dari kata apek atau paman, panggilan untuk si pembuat pempek. Makanan ini metamorfosis dari makanan pokok masyarakat Sumatera Selatan berbahan baku sagu merah.
Makanan pokok itu sudah menjadi makanan pokok wong Palembang, dimakan pagi, siang dan malam. Tetap sehat, kuat dan bertenaga, meskipun tidak makan nasi dengan lauknya. Dalam kebiasaan makan wong Palembang, jika makan nasi terlalu banyak ditegur orang tua tua, karena takut kena diabetes. Sedang kalau makan pempek terlalu banyak tidak ditegur, karena tidak ada efek diabetesnya.
Kelesan, makanan berbahan baku sagu telah mengalami transformasi menjadi pempek yang dimodifikasi dengan isian telur dan diberi saus gula aren berempah dan pedas. Beras dalam sejarah masa lalu Kesultanan Palembang adalah makanan buruh kasar yang didatangkan dari Jawa, Cina dan India oleh kolonial Belanda.
Dapat dikatakan kelesan dan sagu merah adalah karakter  masyarakat bahari memaknai daratan.

Wong Palembang dan Wong Jowo punya kedekatan sejarah yang panjang. Penduduk Sriwijaya masa lalu atau wong Palembang masa kini mendiami dua propinsi yaitu Sumatera Selatan dan Bangka Belitung.
Kita akan temukan banyak istilah Jawa yang dipakai dalam kebudayaan di dua propinsi tersebut, karena pengaruh kekuasaan Majapahit. Sampai sekarangpun wong Palembang sangat respek dan dekat dengan orang Jawa.
Orang Palembang menyebut Wong Kito Galuh. Padahal Wong dalam bahasa Jawa artinya orang. Wong Jowo, artinya orang Jawa.  Penduduk yang tinggal di pulaubJawa sepertinya tidak punya budaya makan sagu.

2 komentar: