Jumat, 29 Mei 2020

MBAH MOEN SAREH DI MA'LA


Mbah Moen dan Ma'la adalah dua keistimewaan yang berjumpa dan menyatu. Mbah Moen merupakan ulama kharismatik yang istimewa, lahir di Indonesia, wafat di Saudi Arabia. Ma'la adalah tempat yang spesial, makam istimewa tempat peristirahatan terakhir  keluarga nabi.
Orang jawa menyebut makam atau pekuburan sebagai pesarean, umumnya dipilih di tempat yang tinggi, seringkali disebut astana hinggil, istana di ketinggian. Orang yang sudah wafat dianggap sareh, tidur atau istirahat, makanya dipilih tempat yang teduh, rimbun di ketinggian, sunyi dan tenang.  Yang menghuni istirahat dengan tenang , yang berziarahpun damai.

Jamaah tarekat Naqsabandiyah menyebut mursid yang sudah wafat dengan sebutan berlindung. Sebagai muslim kita percaya,  mereka berada di alam barzakh, perjalanan menuju ke alam akhirat.  Pemakaman mursid dan kyai kyai Tarekat At Tijani di Surabaya juga dimakamkan di perbukitan Gununganyar. Makam Sunan Giri juga berada di ketinggian, di perbukitan Giri Kedaton. Makam Sunan Muria berada di ketinggian Gunung Muria. Bahkan makam sultan sultan Ternate juga berada di ketinggian, desa Foramadiahi, lereng gunung Gamalama.

Pemakaman Ma'la atau lengkapnya, Maqbarah Jannatul Ma'la,  merupakan kuburan umum bagi masyarakat setempat ataupun jemaah haji yang wafat di daerah Makkah. Ma'la sudah ada sejak zaman Arab Jahiliyah. Ma'la  berarti tanah yang lebih tinggi.  Letaknya memang agak tinggi berada di kaki bukit Hujun.

Dari keluarga Nabi yang dimakamkan di Ma'la terdapat : Khadijah binti Khuwailid ( istri Nabi), Abu Thalib (paman Nabi), Syaibah bin Hasyim, Abdullah bin Abdul Muththalib (ayah Nabi), Abdu Manaf bin Qushay, Qasim bin Muhammad (putra Nabi), Sufyan bin Uyainah.

Selain Mbah Moen (2019) dan gurunya Syaikh Yasin Padang (1990) ,   terdapat sejumlah ulama nusantara yang dimakamkan di Ma'la,  diantaranya: Syaikh Ahmad Khatib Sambas (wafat tahun 1875), Syaikh Nawawi Banten (1897) Syaikh Junaid Betawi (akhir abad 19 M) Syaikh Abdul Haq Banten (1903) Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau (1916) Syaikh Abdul Hamid Kudus (1916), Syaikh Mahfuzh Tremas (1920) Syaikh Mukhtar Bogor (1930) Syaikh Umar Sumbawa (1930-an) dan Syaikh Abdul Qadir Mandailing (1956).

Kyai Maemoen Zubair, kerap dipanggil mbah Moen. Semasa hidupnya adalah ulama kharismatik, Gusdur sering menggunakan istilah panggilan Kyai Khos. Mbah Moen dapat dibilang sebagai Habib atau Sayyid, sebab nasabnya sampai ke Rasulullah Saw. Datuknya nun jauh di sana dimakamkan di Madinah, keturunannya yang mulia menghendaki meninggal hari Selasa pada musim haji dan berwasiat untuk dimakamkan di Ma'la. Semua yang diharapkan dikabulkan oleh Allah Swt. kekasihnya. Kehendaknya yang kuat tidak hanya dimohonkan dalam do'a, tetapi juga diihtiarkan. Mbah Moen nyaris setiap tahun berangkat haji dengan alasan dan dalih apapun. Sampai harus menyaru sebagai pelayan rumah makan saat diinterogasi askari di Arab Saudi.

Saat mbah Moen wafat, pemerintah Kerajaan Arab Saudi (KSA), memberikan visa khusus, imunitas kepada 8 putra mbah Moen. Visa di musim haji tidak bisa diterbitkan sembarangan, karena dalam manajemen haji pemerintah KSA menetapkan kuota. Warga negara Asing juga tidak bisa sembarangan dimakamkan di Ma'la, pengaruh dan kharisma Allahuyarham serta upaya gigih pemerintah Indonesia melalui dubes Agus Maftuh Abugibrail, membuahkan hasil persetujuan pemerintah KSA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar