Jumat, 29 Mei 2020
RELASI IMAN DALAM KEHIDUPAN MULTIKULTURAL
Beberapa wqktu yang lalu, di media sedang ramai pemberitaan tudingan penistaan agama terhadap UAS. Yang menarik bagi saya adalah dampak positif relasi umat beragama baik muslim maupun nasrani. Yang menjadikan momen ini sebagai kesempatan berpolemik juga banyak. Biarlah itu pilihan mereka.
Seorang kawan, ustadz dari Bandung membuat status di wall media sosialnya. Pada saat, muslim disebut sebagai domba yang tersesat oleh pendeta di hadapan jemaatnya, kami muslim tidak marah, karena itu sudut pandangnya, tidak masalah. Mengapa ketika UAS, ceramah perspektif ustadz tentang salib di hadapan jamaah solat subuh, orang kristen merasa terhina dan dilecehkan.
Saudara saya Chris, dari Manado menanggapi dengan sikap persaudaraan, tidak tersinggung. Wah kayaknya kalo ada pendeta yg mengistilahkan umat muslim itu domba, berarti pendetanya yg sesat deh.. 😅 Karna pemahaman yg benar bahwa Yesus diibaratkan sebagai "Gembala" yg menuntun jalan hidup umat kristen lewat firmannya, dan umat kristen sebagai dombanya.. dalam perjalanannya, banyak umat kristiani yg malah hidupnya tidak berpedoman pada ajaran sang "Gembala yg agung" tadi.. bukannya hidup sesuai firman, eeh malah hidup seenaknya sendiri.. nah mereka inilah yg disebut domba yg sesat. Dan Allah tidak berdiam diri.. dalam ajaran kami Allah sendirilah yg akan mencari domba2 yg sesat itu untuk kembali pulang lewat panggilannya yg dapat berbentuk apapun..
Nah konteks ini, sungguh tidak berlaku bagi umat muslim.. karna kan memang tidak dipimpin dan tidak mengakui Yesus sebagai gembala.. jadi yaaahh, intinya tidak bisa diibaratkan sebagai domba-NYA..
Kayaknya pendeta yg ngomong gitu harus sekolah lagi deh.. 😅
Dengan demikian, mohon maafkan sodara saya yg kurang pemahamannya itu Ustadz.. 🙏🙏🙏
Ustadz menanggapi dan bertanya secara langsung atas video viral ustadz Abdul Somad terhada Chris. Dan jawabannyapun tidak kalah simpatiknya dan ini dilakukan di ruang publik.
Tanggapan pribadi saya pak? Waahh apalah saya ini.. 😅
Cuman kalo mau objektif sih, secara iman saya tentu tidak bisa menerima apa yg disampaikan oleh beliau.. akan tetapi saya harus memahami bahwa beliau dan saya berbeda keyakinan. Beliau tidak dididik berlatar belakang pendidikan agama yg saya anut, dan begitu juga sebaliknya. Dan hal itu disampaikan di forum yg tertutup. Bukan di forum terbuka, dimana umat kristen juga hadir disana. Jadi bisa saja beliau memang tidak bermaksud buruk terhadap keyakinan saya, namun hanya sebatas memberi sudut pandang beliau pada umat yg hadir di forum itu..
Jadi kalo menurut saya pribadi, memang tidak perlu diperpanjang dan terlalu dipermasalahkan.. 😀
Perdebatan tentang tema yang sensitif dalam masyarakat yang majemuk menjadi dialog yang konstruktif dan saling menghargai. Masing masing punya versi kebenaran. Apalagi keyakinan dan agama tidak bisa saling memaksakan. Keyakinan bagi sebagian besar pemeluknya tidak pakai syarat logis.
Dua sahabat saya dan teman temannya, berada dalam lingkungan sosial yang sering bersilaturrahmi, maka persoalan paling 'sara' pun tidak bisa menjadikan alasan bermusuhan dan saling membenci. Beragama secara dewasa memang mempersaratkan toleransi terhadap perbedaan. Menghargai perbedaan tidak membuat keimanan kita menjadi lemah.
Pernyataan pengamat pendidikan Anita Lie dibawah ini memberikan pemahaman keragaman tanggapan orang kristen terhadap kita, kita bisa bertenggang rasa karenanya tanpa harus merasa keimanan kita dilemahkan.
Masih tentang pernyataan UAS tentang Salib. Tapi saya ingin merefleksikan reaksi-respon teman-teman Kristen/Katolik. Refleksi ini berangkat dari pertanyaan seorang sahabat beragama Hindu, "Kenapa (komunitas Kristen) tidak melaporkan kepada polisi secara resmi? Toh Muhammadiyah saja sudah mengeluarkan suara seperti itu. Tambah merajalela faham faham radikal yg seenaknya ngatain agama lain." Saya jawab, "Itu bukan jalan Kristiani." Lalu saya kirim puisi karya Gantyo Koespradono yang menyejukkan dan gambar Paus Fransiskus dengan tulisan "Anda sedang marah kepada seseorang? Doakanlah dia. Begitulah cinta kasih Kristiani."
Ada macam-macam reaksi terhadap pernyataan UAS. Kabarnya, ormas Brigade Meo NTT melaporkan UAS atas tuduhan penistaan agama. Jika memang benar, saya menghargai tindakan ormas yang memilih jalur legal. Yang saya rasakan lebih dahsyat beredar dalam jalur medsos dan WAG di lingkaran saya justru ungkapan penuh pengampunan dan kasih kepada UAS pribadi dan pengikutnya. Saya pribadi merasa se-irama dengan puisi Gantyo Koepradono (akan saya kutip di bagian komentar di bawah ini) dan pernyataan Paus Fransiskus.
Apalagi saya juga menerima permintaan maaf dari beberapa teman Muslim yang sungguh sangat berbaik hati dan mulia. Salah satunya dari Mbak Yeni, pengurus Fatayat NU. "Seandainya saya pantas meminta maaf atas nama ucapan ust abdul shomad karena agama kami sama, saya akan melakukannya. Saya sedih ada tokoh agama saya mengatakan hal senaif itu. Padahal kami diajari mencintai kepada yang berbeda."
Sungguh tindakan ini sangat menyentuh jiwa. Sedikitpun saya tidak pernah mengharapkannya karena saya tidak pernah mengaitkan kecerobohan seseorang sebagai manifes dari ajaran agamanya, apalagi mengharapkan orang lain yang tidak terkait untuk ikut bertanggung jawab.
Masih banyak ungkapan empati serupa yang ditulis secara publik di medsos. Di antaranya dari teman2 jaringan Gusdurian, misal Aan Anshori. Sungguh saya merasa diberkati mempunyai lingkaran pertemanan dengan orang-orang baik dan mulia. Jujur saja, entah mengapa tapi saya tidak merasa terluka dengan ucapan UAS. Tapi ketika teman-teman memberi saya obat penawar berupa ungkapan empati itu, ya saya terima saja dan gunakan sebagai vitamin penambah stamina kebangsaan. Persahabatan semacam ini sudah meneguhkan iman Kristiani saya dan menumbuhkan harapan terhadap Indonesia yang lebih damai dan bermartabat di masa depan.
Singkat kata, saya pikir orang-orang Kristen seharusnya "sudah selesai" dengan persoalan-persoalan semacam UAS, sesuai dengan ajaran Kasih. Maksud saya, persoalan semacam UAS masih jauh dari selesai di Bumi Indonesia. Namun, bagaimana orang Kristen merespon persoalan itu seharusnya sudah jelas.
Ternyata masih ada juga teman-teman Kristen yang masih merasa marah, bukan hanya terhadap UAS, namun juga terhadap ketidak-adilan yang dirasakan sebagai minoritas di Indonesia. "Kalau pihak sana , sini disuruh tidak menanggapi wkwkwkwkwkwk prett !! .... Kalau pihak kita yang begitu COBA ??? apa bisa pihak sana tidak menanggapi ???" Luka lama kasus-kasus penistaan agama pun muncul ke permukaan.
Tentunya saya berusaha memahami kegeraman dan kemarahan teman-teman. Tapi saya juga berharap teman-teman Kristen juga bisa mempunyai kesempatan untuk melakukan perjalanan multikultural sebagai warga bangsa Indonesia bersama dengan teman-teman yang berbeda. Seandainya saja mereka tahu betapa terlukanya sebagian teman-teman Muslim atas ucapan UAS itu, mereka tidak akan lagi menggunakan diksi "pihak sana" dan "pihak sini."
Dalam setiap komunitas, ada spektrum keluasan dan kedalaman karakter para anggotanya. Dalam komunitas Kristen, ajaran untuk mengasihi musuh yang menganiaya kita tentu sangat tidak mudah untuk dilakukan. Tapi, ya itulah patokan yang sudah ditetapkan. Tidak ada yang pernah menjanjikan menjadi Kristen itu mudah!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar