Jumat, 29 Mei 2020

MELEMAHNYA MODERASI BERAGAMA DI PERGURUAN TINGGI KEAGAMAAN ISLAM NEGERI




Konsep moderasi seringkali merujuk pada konsep Islam sebagai rahmatan lil alamin, Islam rahmat bagi semesta (QS Al Anbiya’: 107)  dan ummat Islam merupakan ummat yang moderat (QS Al-Baqarah 143). Bersamaan dengan konsep Islam adalah agama fitrah (QS Al-Rum: 30), agama yang benar/hanif (QS Al-Rum: 30), agama yang adil (QS Al-Maidah: 8) membentuk sebuah kerangka konsep pentingnya bersikap moderat (tawasuth) karena sesungguhnya Islam adalah agama yang moderat dan umat Islam adalah umat yang moderat.
Ada dua pendapat terkait dengan moderasi, apakah umat atau agamanya yang moderat. Yang pertama berpendapat bahwa Islam adalah agama yang moderat, sebagian yang lain berpendapat bahwa yang moderat adalah ummat Islam. Umat yang moderat atau ummatan wasathan nampaknya lebih dekat dengan pernyataan QS Al-Baqarah 143. 

Perbincangan moderasi mengemuka kembali setelah munculnya gejala radikalisasi berbagai bidang. Di perguruan tinggi misalnya disinyalir terdapat gerakan radikalisasi yang sudah mengakar kuat. Menguatnya politik identitas dapat dilihat pada fenomena pemilihan umum kepala daerah,  gubernur  Jakarta yang berlanjut pada pemilihan presiden 2019. 

Akhir Januari 2019 Menteri Agama menyampaikan 3 prioritas program kementerian agama yaitu moderasi beragama, kebersamaan dan peningkatan kualitas pelayanan kepada ummat beragama. Sejarah keberadaan PTKIN ditujukan untuk memberikan ruang kajian keislaman dan ilmu ilmu keagamaan di tingkat perguruan tinggi. Karena latar belakang demikian sehingga calon mahasiswa PTKIN berasal dari pondok pesantren dan madrasah aliyah.

Moderasi bukan hanya pekerjaan rumah umat Islam tetapi semua agama. Relevan dikemukakan di awal tulisan ini pengalaman Syamsi Ali berdialog dengan penganut Kristiani di sebuah perjalanan menuju New York. Setelah perbincangan akrab, Kristiani bertanya: “What kind of Islam do you folow? It is a radical or moderate one?” Setelah menjawab seperlunya Syamsi merasa penasaran, kemudian balik bertanya: “Are you Christian? Moderate or radical Christianity?” Mendapat pertanyaan seperti ini terlihat raut muka tidak senang kemudian dia menjawab : Kristen menurut saya adalah agama yang moderat. Syamsi Ali kemudian menetralisir perbincangan dengan menyampaikan pendapat : “ All religions are inherently moderate. It is the followers who pull it into radical view and behaviors”. 

Moderasi beragama merupakan pekerjaan rumah bersama semua agama, termasuk Hindu di Bali. Ditolaknya Logo Bali bersholawat oleh tokoh masyarakat di Bali menunjukkan masih ada kehawatiran terjadi peng Islaman Bali. Bali adalah mayoritas Hindu, dan Bali hanya milik umat Hindu, sehingga logo Bali bersholawat menunjukkan kehendak Islam mengislamkan Bali.  Kehadiran Habib Luthfi bin Yahya seorang tokoh tarekat yang sangat moderat tidak mampu meyakinkan dan jaminan untuk menghalau kehawatiran Bali diIslamkan. Sikap tidak moderat ternyata menjangkiti mayoritas terhadap minoritas pada penganut Hindu. Apabila kita singkap lebih jauh pada semua agama di Indonesia, niscaya akan kita temukan sikap yang tidak moderat pada semua agama, terutama pada masyarakat yang mayoritas terhadap minoritas. Meskipun berbeda satu dengan lainnya dalam kadar sikap intoleran dan radikalisme di setiap agama, tetapi fenomena dalam Islam menjadi paling mendapat perhatian. 

Moderasi beragama, radikalisme dan intoleransi tidak terlepas dari gerakan politik di Indonesia. Gerakan politik di Indonesia setelah reformasi dapat dipilah menjadi 4 kelompok yaitu Kanan Konservatif, Kanan Liberal, Kiri Konservatif dan kiri radikal. Islamisme sebagai ideologi politik, juga mempunyai banyak varian yakni Islam modernis, Islam tradisionalis konservatif, transformisme Islam dan Islam fundamentalis. Moderasi beragama dapat ditemukan pada gerakan politik yang beraliran Islam modernis, tradisionalis konservatif dan transformisme meskipun dalam kadar yang berbeda beda.

Islam fundamentalis sebagai aspirasi gerakan politik satu satunya rumah dominan bagi radikalisme dan intoleras, mempunyai pengikut yang relatif  kecil dibandingkan Islam moderat, tapi mempunyai manajemen organisasi yang militan dan konsisten melakukan pembinaan dan kaderisasi di sekolah menengah dan perguruan tinggi, terutama sekolah negeri dan perguruan tinggi negeri. Di luar lembaga pendidikan tersebut organisasi Nahdhatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah serta organisasi keagamaan Islam lainnya cukup efektif mencegah infiltrasi masuknya paham radikal dan intoleran.

Demikian pula pondok pesantren yang sebagian besar dikelola oleh yayasan atau badan wakaf yang berafiliasi secara ideologis dengan ormas NU dan Muhammadiyah. Peran ormas Islam moderat cukup efektif melestarikan dan mengembangkan moderasi beragama, sekaligus mencegah masuknya paham radikal dan intoleran. Setelah tahun 1980 an mulai bermunculan pondok pesantren yang bercorak fundamentalis dan semakin meningkat dari sisi kualitas maupun kuantitas, sejak munculnya organisasi keagamaan berorientasi politis semacam Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI), Komite Persiapan Penegakan Islam (KPPSI), Lasykar Jihad, Jamaah Islam ahlussunnah Waljamaah, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Forum Ulama Ummat Islam Indonesia.  Beberapa organisasi di atas bahkan mempunyai lembaga pendidikan berasrama dan pondok pesantren. 

Apabila sebelum tahun 2010 an organisasi keagamaan membangun kesadaran ideologis dan mengkader pemuda pemudi Islam melalui sekolah menengah dan perguruan tinggi, maka setelahnya menggunakan cara cara yang lebih terstruktur dan terlembagakan. Caranya dengan membangun sekolah sekolah berdasarkan idiologi yang mereka yakini. Untuk menciptakan generasi yang militan dan tercampur keyakinan yang berbeda mereka mendirikan lembaga pendidikan mulai dari Taman Kanak Kanak atau Busthanul Athfal, Sekolah Dasar Islam Terpadu, Sekolah Menengah Pertama Islam Terpadu, dan Ma’had. Sebagai contoh di Jawa Timur Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) mempunyai lembaga pendidikan tingkat menengah pertama dan tingkat menengah atas berbentuk pondok pesantren di Nganjuk dan Probolinggo. Jamaah Salafi mendirikan pesantren putra di Jombang dan Pesantren Putri di Sedayu Gresik.

Mei 2018 ramai diberitakan, perguruan tinggi negeri terpapar radikalisme. Indikasinya beberapa dosen dari perguruan tinggi ternama, termasuk diantaranya guru besar, seolah olah merestui bom bunuh diri Surabaya, 13-14 Mei 2018.  Mereka mengembangkan wacana publik, bahwa bom bunuh diri di Gereja yang dilakukan di Surabaya adalah rekayasa kepolisian. Tiga rektor perguruan tinggi negeri ternama segera memberikan klarifikasi, bahwa pernyataan para dosennya adalah pendapat pribadi, tidak merepresentasikan institusi.

Walaupun tinformasi demikian tidak dapat digunakan untuk menggeneralisir sebagai fenomena umum yang dapat saja terjadi di perguruan tinggi manapun termasuk di Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri (PTKIN), tetapi fenomena tersebut harus menjadi sinyal penting untuk kewaspadaan.

Radikalisme di perguruan tinggi berkembang menurut Ayzumardi Azra disebabkan oleh faktor dosen.  Sebelum menjadi dosen yang bersangkutan pernah  aktif di organisasi organisasi kanan seperti Lembaga Dakwah Kampus (LDK), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) atau bahkan di Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Faktor lainnya adalah keilmuan para dosen yang eksakta, ilmu alam misalnya, yang melihat dunia hitam putih. Orang Islam yang hitam putih lebih mudah terpapar atau menerima ide ide radikalisme. Berikutnya dosen dosen di PTN tidak mempunyai pemahaman Islam yang komprehensif. Tidak mengenal dan memahami Islam dengan berbagai seginya. Pemahaman keagamaannya parsial. 

Melemahnya moderasi beragama ditandai dengan larisnya radikalisme. Antara moderasi dan radikalisasi saling menihilkan. Radikalisme merupakan ideologi dan paham yang menginginkan perubahan sosial dan politik dengan menggunakan cara cara radikal atau ekstrim.   Radikalisme dalam Islam dikaitkan dengan terorisme, meskipun radikalisme tidak selalu berakhir dengan terorisme, tetapi terorisme selalu dimulai dengan radikalisme. 

Terpaparnya perguruan tinggi dengan radikalisme bukan sesuatu yang mengejutkan, karena hasil survei Badan Intelejen Negara (BIN) 23,3 persen siswa SMA setuju dengan ‘jihad’  dalam rangka menegakkan dawlah Islamiyah atau khilafah.  Jika BIN menyatakan bahwa ada 3 PTN terpapar oleh radikalisme, maka Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)  menyatakan bahwa hampir seluruh perguruan tinggi negeri dan swasta telah terpapar pada paham dan praksis radikalisme. 

Menurunnya jumlah mahasiswa yang berasal dari madrasah dan pondok pesantren turut menyumbangkan faktor melemahnya moderasi di perguruan tinggi. Madrasah dan pondok pesantren sejauh ini sulit ditembus penyebar dan penganjur radikalisme. Pendidikan di madrasah dan pondok pesantren sarat dengan nilai nilai moderasi beragama. Benteng pertahanan dari penyebaran radikalisme dan intelaransi. Ketika jumlah mereka prosentasenya berkurang di perguruan tinggi keagamaan Islam, maka moderasi beragama juga mengalami pelemahan. 

Bersamaan dengan menurunnya prosentase lulusan madrasah dan pondok pesantren di perguruan tinggi keagamaan Islam negeri, meningkatnya jumlah kader kader global salafisme yang masuk di PTKIN. Pembinaan siswa berlanjut kembali saat mereka menjadi mahasiswa melalui Lembaga Dakwah Kampus atau lembaga ekstra kampus.

IAIN Ternate berdiri tahun 2014 , sebagai kelanjutan dari STAIN Ternate yang didirikan tahun 2001 dan Fakultas Tarbiyah IAIN Alauddin di Ternate tahun 1976 . Sebagai perguruang tinggi Islam negeri satu satunya di propinsi Maluku Utara, IAIN Ternate menjadi rujukan lulusan madrasah dan pesantren pada awalnya. Setelah 40 tahun asal mahasiswa IAIN Ternate lebih beragam lagi, sehingga alumni madrasah dan pesantren jumlahnya imbang dibandingkan lulusan SMU dan SMK, atau bahkan prosentasenya lebih kecil. 

Sinyalir BIN maupun BNPT terhadap mayoritas SMA yang terpapar radikalisme menjelaskan mengapa di IAIN Ternate praksis radikalisme sudah dibawa oleh calon mahasiswa yang masuk ke kampus. Menurunnya prosentase jumlah lulusan madrasah dan pondok pesantren di Maluku Utara yang masuk ke IAIN Ternate memberikan kontribusi terhadap melemahnya moderasi keagamaan. Gerakan salafisme global  dan gerakan sejenis yang mempunyai agenda daulah Islamiyah dan khilafah, secara sistematis memanfaatkan semua media online dengan agenda radikalisme. Media sosial dan madia online dibanjiri dengan konten konten yang menyuarakan agenda mereka. Sebaliknya penggiat moderasi beragama menanggapi dengan masygul dan nyaris tanpa agenda. 

Sebagai wilayah dengan jumlah pondok pesantren dan madrasah yang sangat kecil, maka tidak ada alternatif lain yang lebih cepat menjangkau khalayak selain media informasi online. Informasi radikalisme dan intoleransi yang sampai kepada generasi muda Maluku Utara tanpa mendapatkan informasi moderasi beragama  dari pondok pondok pesantren dan organisasi yang moderat, maka peluang untuk terinfiltrasi paham radikal dan intoleran jauh lebih besar. Berbeda dengan wilayah wilayah yang mempunyai pondok pesantren dan madrasah dalam jumlah besar, mereka memperoleh penyeimbang dari para ulama dan penceramah yang menyampaikan dakwah dakwah moderat. Generasi muda Maluku Utara yang tingkat perambahan media online cukup tinggi dimanjakan dengan melimpahnya informasi paham radikal dan intoleran sebelum memasuki perguruan tinggi.

Pondok pesantren di Maluku Utara berjumlah 14 pondok pesantren, terkecil dibandingkan propinsi lainnya bahkan dibandingkan Papua (33 pondok pesantren) dan Papua Barat (23 pondok pesantren) . Dari 14 pondok pesantren di Maluku Utara hanya satu pesantren yang mengajarkan kitab kuning, pesantren salaf. Selebihnya adalah pesantren yang santrinya tidak mukim, atau santri kalong. Jumlah madrasah aliyah di Maluku Utara 79, terdiri atas 70 MA negeri dan MAN 9 sekolah. Data data tersebut menjelaskan kecilnya lulusan pesantren dan madrasah aliyah di Maluku Utara.

Belakangan pegiat moderasi beragama mulai sadar dan memperkuat media online seperti NU online dengan menggandeng beberapa media online, untuk melakukan kontrawacana yang ditebarkan oleh media media penyebar intoleransi dan radikalisme seperti eramuslim.com, voa.islam dan nahimunkar.org.  Salah satu penyebab kelompok muda milenial lebih tertarik dengan media online penganjur intoleran dan radikalisme, karena media online moderat kurang renyah dalam menyajikan berita. Media radikalisme sudah berlangsung lebih lama, dikelola secara terorganisir, dilakukan secara sistematis dengan para pengelola media yang fanatis. Media moderat lebih nampak reaksioner, masygul dan tergopoh gopoh. 10 besar media online, NU online sendirian, 9 lainnya adalah media penyebar intoleransi dan radikalisme,

Pada penerimaan mahasiswa baru tahun 2018, IAIN Ternate dihadapkan dengan polemik penggunaan cadar mahasiswi baru. Di internal kampus, publik terbelah antara yang mendukung pengunaan cadar dan yang melarang penggunaan cadar di kampus. Mahasiswi Baru menolak tunduk pada peraturan tentang pelarangan penggunaan cadar selama perkuliahan. Mereka menolak melucuti cadar, jika tidak bisa diakomodir keinginannya mereka mengundurkan diri. Akhirnya kampus berkompromi dan membolehkan mereka tetap menggunakan cadar. 

Yang dapat ditangkap dari kejadian tersebut adalah, bibit radikalisme sudah dibawa oleh calon mahasiswa sebelum masuk ke PTKIN. Gerakan pengusung radikalisme tidak hanya aktif di udara, sejak pertengahan sembilan puluhan mereka membina siswa siswi di SMA dan mahasiswa mahasiswi di perguruan tinggi. Melalui Liqo, Ushroh, Halaqoh dan tarbiyah dibina kader kader muda. Untuk kasus IAIN Ternate berkembangnya radikalisme lebih muda karena lahannya subur, bibitnya bagus. Lahannya subur karena lembaga lembaga keagamaan di luar kampus yang diharapkan dapat bersama sama membangun sikap beragama yang moderat dan toleran tidak cukup memadahi kuantitas maupun kualitas. Bibitnya bagus karena sejak berada di sekolah menengah atas calon mahasiswa sudah dibina dalam seksi Kerohanian Islam (Rohis).

Senior yang sudah berpaham radikal dan intoleran yang telah sukses dalam dunia kerja berjejaring dengan alumni antar perguruan tinggi melakukan pembinaan yunior di Rohis dan LDK. Siklus ini kemudian melembaga berkembang secara terstruktur dan sistematis, menggurita di berbagai bidang. Jika dulu paham radikal dan intoleran hanya laku di PTN umum, maka sepuluh tahun terakhir sudah cukup pula menguat di PTKIN.

Jika melihat fenomena melemahnya moderasi  dan menguatnya radikalisme di kampus PTKIN umumnya dan secara spesifik di IAIN Ternate dapat dirangkum oleh beberapa sebab. Pertama Calon mahasiswa mayoritas berasal dari sekolah umum dan dalam jumlah yang lebih sedikit berasal dari pondok pesantren dan madrasah. Kedua, jumlah pondok pesantren dan madrasah aliyah yang mengajarkan dan mengembangkan moderasi kurang memadahi baik dari segi jumlah maupun kualitas. Ketiga, informasi penyeimbang atau kontra narasi konten di media sosial tidak cukup kuat sampai kepada generasi milenial Maluku Utara yang sangat netizenship.  Akibat tidak cukup informasi moderasi beragama sampai, akhirnya mereka lebih mudah menyimpan dan mengamalkan informasi radikalisme dan intoleran. Keempat, kesadaran untuk memperkuat program moderasi beragama di kampus tidak dilakukan, atau kalaupun ada kalah renyah dengan yang disuguhkan oleh penganjur radikalisme dan intoleran.

Keasadaran membendung laju radikalisme dan intoleransi adalah dengan memperkuat moderasi beragama di kampus sambil melakukan program kontra radikalisme sejak dari luar kampus melalui beberapa program. Pertama penguatan pondok pesantren dan madrasah Aliyah dengan meningkatkan dan memperluas daya tampung dan kualitas pengajaran di lembaga tersebut, termasuk juga peran dakwah pondok pesantren moderat di masyarakat. Pada solusi ini juga meningkatkan penyerapan alumni pondok pesantren di PTKIN. Kedua, pembinaan Rohis di sekolah menengah atas harus mendapatkan perhatian dari organisasi masyarakat yang moderat. Jika pemotongan mata rantai ini tidak dilakukan maka sumberdaya radikalisme dan intoleran tidak pernah habis. Ini hampir mirip ketika masjid masjid NU dan Muhammadiyah yang harus diambil alih dari kelompok radikal. Ketiga, kontra narasi dan konten konten moderasi harus lebih diperkuat oleh media media online yang moderat. Karena penguasaan media radikalisme dan intoleran sudah sangat dalam dan luas. Jika tidak segera dilakukan maka generasi milenial yang terpapar konten konten radikalisme dan intoleran tidak terhindarkan. Bahaya ini terasa lebih besar di wilayah yang jaringan internetnya bagus, budaya aksesnya berkembangan tapi organisasi keagamaan moderat frekwensi dakwahnya kurang seperti wilayah Maluku Utara. Empat, kampus harus mempunyai program yang terencana dan terukur dengan sasaran yang jelas untuk menjangkau mahasiswa dan mungkin pula dosen yang sudah terpapar dengan radikalisme dan intoleran. Kampus harus memperbanyak program kerja untuk mahasiswa yang mampu meningkatkan pemahaman dan budaya beragama yang moderat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar