Jumat, 29 Mei 2020

IDEOLOGI NOVEL BUMI MANUSIA

Pernah membaca buku Bumi Manusia? Saya pernah membacanya, sekali saja. Waktu S2 di UINSA, di tahun 2006. Saya berharap dapat beroleh sesuatu, tapi kesan saya biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Mungkin itu ketebatasan saya. Ketertarikan saya terhadap buku buku Pramoedya Ananta Toer, karena sangat dilarang di masa orde baru, sebab alirannya kiri. Das Kapital yang terjemahan, karya Karl Marx, juga sangat kiri, saya pun pernah membacanya, saya tidak dapat apa apa, mbulet tidak ada kesan.

Bumi manusia telah diangkat ke layar lebar oleh sutradara tenar Hanung Bramantyo. Kita tentu tahu siapa di balik karya novel ini. Novel bumi manusia ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer, pendekar Lekra saat dipenjara di pulau Buru. Sebagai penulis yang beberapa kali masuk dalam nominasi penerima penghargaan nobel di bidang sastra, ia punya sikap tersendiri tentang menuIis dan hasil tulisannya sebagaimana diceritakan Hanung.

Dengan modal nekad saya naik motor pergi ke rumah Pramoedya di Bojong Gede. Saya bermaksud  untuk memfilmkan kisah Nyai  dengan dalih  untuk keperluan Pendidikan dan kebudayaan. Berharap sosok Pramoedya yang saya kenal sebagai manusia idealis, berbudaya, layaknya kawan-kawan seniman senior di Yogyakarta, dengan mudah memberikan ijin kepada saya dengan terbuka. Tapi beliau dengan tegas mengatakan : “Maaf sekali, bung. Tidak semudah itu. Asal bung tahu, Bumi Manusia itu sudah ditawar oleh Sutradara Hollywood (Oliver Stone) sebesar 60 ribu dolar dan saya bahkan belum memberikan. Sorry kalau saya terlihat seperti tidak mendukung kemajuan anak muda. Tapi inilah hidup saya. Saya hanya bisa menulis. Tulisan-tulisan saya adalah anak-anak Rohani saya yang harus bisa menghidupi keluarga saya baik secara materi maupun Non-Materi.

Mungkin sebagian kita punya penilaian yang sama dengan Hanung terhadap sosok Pram yang sosialis. Ternyata dalam kekomunisannya dia juga kapitalis. Karya tulis dan penulis seringkali punya hubungan unik dan tidak selalu linier. Hubungan karya tulis dan penulis bersifat kompleks. Sebagai pembaca, terlebih lagi penikmat  sebuah karya sastra dan pengagum tentu ada rasa kecewa. Benci tapi rindu.

Sejak saat itulah saya mulai mengubur keinginan memfilmkan Bumi Manusia. Saya tinggalkan Minke, Annelies, Nyai Ontosoroh, Darsam, Khomers, Maghda Peters, si pengecut Suurhoff, si bangsat Herman dan Robert Mellema jauh dari imajinasi saya. Saya mulai berkelana dengan film-film saya sendiri, mengadopsi prinsip kreatif yang dikatakan Bung Pram. Karya saya adalah anak-anak rohani saya yang akan menghidupi saya dan keluarga saya.

Bumi manusia bukan novel biasa. Walaupun bahasanya sederhana, bahasa sehari hari dalam masyarakat yang diserap kejeniusan Pram, dituangkan dalam karya sastra. Pram hidupnya sederhana, tapi cara berpikirnya rumit, ramuan tulisannya canggih. Pram mengusung ideologi yang dikemas halus dalam karya sastranya, sehingga tidak kentara. Pram dedengkot ideolog sosialis dan komunis yang kerap berpolemik dengan kelompok islamis pada masa nasakom, orde lama.

Novel bumi manusia memuat pesan perlawanan diskriminasi dari bangsa negeri terjajah. Tokoh utama dalam novel, minke adalah representasi gagasan Pram. Penelusuran Hanung tentang sosok Minke yang diciptakan Pram. Dalam pengakuan Pram disebuah interview, dia mengatakan bahwa Minke adalah Tirto Adhi Suryo. Tapi dia juga mengatakan dalam interview yang berbeda bahwa sosok Tirto hanyalah sebagai sebuah acuan saja. Sejatinya Minke hanyalah tokoh fiksi tak ubahnya Forest Gump. Terbukti dalam Jejak Langkah, Pram tidak menyebut siapakah Dokter Jawa? Gadis Jepara? Padahal kita sebenernya bisa menebak bahwa mereka adalah Dr. Wahidin dan R.A Kartini. Jangan-jangan Pram, melalui sosok Minke, justru sedang menciptakan tokoh fiktif yang bertujuan merangsang anak-anak muda seperti saya agar menjadi sosok yang melebihi dirinya sendiri?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar